Webinar Obrolan Santai oleh Dr. Joko Wiratmo : Menebak Kelakuan La Nina 2024

Oleh : Mely Anggrini
Senin, 17 Juni 2024

BANDUNG, meteo.itb.ac.id – Dosen Program Studi Meteorologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) sekaligus pemerhati sistem iklim, Dr. Joko Wiratmo M.P., gelar Webinar Obrolan Santai “Prakiraan Kelakuan La Nina 2024” yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom Meeting, Senin (10/6/2024).

Webinar ini dihadiri oleh berbagai kalangan yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia, mulai dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, hingga berbagai provinsi lainnya.

Dr. Joko Wiratmo sebagai penyelenggara webinar ini, berharap agar informasi mengenai cuaca dan iklim yang ada di wilayah Indonesia dapat tersampaikan dengan lebih baik, dalam artian tidak terdapat kesimpangsiuran informasi dan berita hoax yang muncul di tengah masyarakat Indonesia.

Dalam sambutannya, Dr. Joko Wiratmo berharap bahwa kegiatan ini dapat menginspirasi dosen-dosen lainnya, agar dapat menyebarkan kemampuan yang dimiliki bagi masyarakat luas secara cuma-cuma, sehingga masyarakat mendapatkan pencerahan, peningkatan kemampuan, pemahaman, hingga keterampilan yang mumpuni.

Bukan hanya itu, Dr. Joko menghadirkan pemerhati masalah lingkungan dan atmosfer dari BRIN Indonesia, Prof. Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc, untuk turut membahas tuntas masalah fenomena iklim La Nina yang sedang beredar saat ini.

“Kegiatan ini mungkin tidak dapat dilakukan secara teratur, tergantung apakah ada fenomena di masyarakat yang harus diluruskan atau tidak. Meskipun kami tidak bisa menjelaskan secara spesifik untuk setiap daerah di Indonesia, tetapi kami bisa menjelaskan secara umum,” ujar Dr. Joko.

Diantara banyaknya masalah iklim yang sering terjadi, hal yang menjadi topik hangat bagi dunia saat ini adalah variabilitas iklim El Nino dan La Nina. Beberapa tahun belakangan, diperkenalkan El Nino Modoki, dimana Modoki berasal dari bahasa Jepang yang memiliki arti “serupa tetapi tidak sama”. Dalam memahami El Nino dan La Nina, perhatian harus tertuju pada kajian di Samudera Pasifik, khususnya di wilayah sekitar khatulistiwa.

Apakah La Nina pada tahun 2024 benar akan terjadi atau tidak?

Beberapa waktu yang lalu banyak media massa yang memberitakan bahwa akan terjadi fenomena La Nina meskipun barangkali tanpa melihat prediksi dari berbagai lembaga kelas dunia lainnya. Terlebih  Kepala BMKG (Prof. Dwikorita Karnawati) juga telah menyampaikan informasi terkait kemungkinan La Nina kepada khalayak ramai.  Pada perkembangan awal bulan Juni ini, BMKG menyampaikan kemungkinan kekeringan yang akan terjadi di wilayah Indonesia dan menyatakan bahwa kondisi samudra Pasifik saat ini adalah dalam keadaan netral.

Grafik prediksi kondisi iklim La Nina dan El Nino oleh Australia pada tahun 2024 berdasarkan parameter suhu permukaan laut (Bagian Biru = La Nina ; Bagian Putih = Netral ; Bagian Merah = EL Nino)

Pada intinya, ketika suhu permukaan laut berada pada rentang penyimpangan kurang dari -0.5 °C menunjukkan terjadinya fenomena La Nina dan pada rentang lebih dari 0.5 °C menunjukkan terjadinya fenomena El Nino. Akan tetapi, ramalan dari berbagai institusi di dunia, menyatakan bahwa suhu permukaan laut saat ini berada pada rentang  -0.5 °C sampai 0.5 °C yang memiliki arti kondisi netral.

Melalui prediksi yang telah dilakukan oleh Australia dan institusi lainnya, mulai Bulan Juni 2024 telah dilakukan prediksi secara rata-rata global dan didapatkan hasil bahwa iklim berada pada kondisi netral pada cakupan wilayah Samudera Pasifik.

Grafik prediksi kondisi iklim La Nina dan El Nino oleh tujuh lembaga riset dunia pada tahun 2024 berdasarkan parameter suhu permukaan laut (Bagian Biru = La Nina ; Bagian Putih = Netral ; Bagian Merah = EL Nino)

Tujuh lembaga riset dunia dari Australia, Kanada, Eropa, Perancis, Inggris, Amerika Serikat , dan Jepang yang turut melakukan penelitian tentang ENSO, memberikan hasil bahwa pada Bulan Juni hingga Juli 2024, suhu permukaan laut berada pada kondisi normal. Tetapi pada Bulan Agustus hingga Oktober 2024, satu hingga dua lembaga menunjukkan hasil riset kondisi iklim yang cenderung sedikit mengarah pada terjadinya fenomena iklim La Nina. Hal ini tidak dapat dijadikan pertimbangan pasti bahwa La Nina akan terjadi, karena rataan dari lembaga lainnya tetap menunjukkan kondisi iklim normal.

Bagaimana pandangan badan riset (resmi) dunia terhadap evolusi La Nina, baik masa lalu, masa kini, maupun masa mendatang (tahun 2026)?

Secara umum, tahun-tahun ganjil merupakan era bagi El Nino, sedangkan tahun-tahun genap merupakan era bagi La Nina. Memang tahun genap merupakan era baru bagi La Nina, akan tetapi untuk setiap tahunnya, karakteristik dari La Nina tidaklah sama.

Data Time Series Historis Nino 3.4 Sea Surface Temperature Anomaly (Garis merah = Fase positif ; Garis biru = Fase negatif)

Berdasarkan data time series, garis merah yang melebihi ambang batas penyimpangan suhu permukaan laut pada 0.5 °C, menunjukkan terjadinya fenomena El Nino, sedangkan garis biru yang lebih rendah dari penyimpangan suhu permukaan laut pada -0.5 °C menunjukkan terjadinya fenomena La Nina. Dapat diamati pada penghujung grafik time series, dimana Januari 2024 akan menghampiri fase tendensi iklim normal sepanjang tahunnya.

“Memandang kondisi cuaca dan musim di  Indonesia, jangan hanya terfokus pada La Nina saja. Harus ingat bahwa Indian Ocean Dipole (IOD) dapat meredam itu. Seberapapun besarnya  kekuatan La Nina, kalau oleh IOD diredam, maka tidak akan memberikan impact yang besar,” tutur Prof. Eddy.

Dr. Joko menambahkan bahwa berdasarkan prediksi yang disampaikan dari model dunia internasional, peluang untuk terjadinya La Nina tetap ada pada bulan-bulan tertentu tergantung wilayah dan sumber lembaga riset yang ada.

“Terkait beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta hingga Banten, kalaupun ada kondisi kering di bulan Juni, Juli, Agustus (JJA), kondisi kering tidak akan parah dan peluang terjadinya hujan tidak akan berkurang atau bertambah signifikan. Untuk mengetahui lebih detail saudara bisa melihat dari prediksi yang dilakukan oleh BMKG karena mereka menggunakan data observasi yang lebih rinci dan merekalah yang mempunyai hak resmi untuk menyatakan kondisi wilayah Indonesia. Apa yang kami sampaikan merupakan gambaran umum serta analisis cuaca dan musim yang kemungkinan akan terjadi dari perspektif regional global,” ujar Dr. Joko.

Sistem Pemanenan Air Sederhana di Majalaya

Teringat waktu kecil di kampung, air hujan dari talang air tidak langsung dibuang melainkan kami tampung di bak mandi. Belakang saya jadi tau kalo itu disebut dengan RWH. Tentunya kalian tau dong apa itu RWH ? Yup, bener, RWH kepanjangan dari Rain Water Harvesting, Bahasa Indonesianya sih Pemanenan Air Hujan. Ternyata RWH merupakan kegiatan yang sudah kita lakukan ya dahulu. Tapi, sekarang bagaimana ya, apakah RWH masih dilakukan? Kembali ke nostalgia saya waktu masih kecil, hasil tampungan air hujan itu kami gunakan untuk kegiatan sehari-hari, mulai dari mandi, mencuci, sampai menyiram tanaman. Sejauh yang saya ingat air tampungan tersebut lebih dingin loh terasa di badan. Segar….

Berkaitan dengan RWH ini, aku kemaren silaturahmi ketempat Kang Riki di Majalaya. Kebetulan juga sambil melihat-lihat pembuatan sistem RWH disana. Kegiatan ini dibantu oleh WCPL. Sudah familiar kan dengan WCPL ? Weather and Climate Prediction Laboratory di ITB. Kang Riki bercerita bahwa ide RWH yang dibangun ini sudah dimulai sejak 2014 yang diprakarsai oleh Dr. Tri Wahyu Hadi (TWH). Dan Alhamdulillah bisa terealisasi sekarang, yeaaayy. Sistem RWH tersebut dipasang di sekitar Masjid (Mushollah) Hidayatul Muttaqin. Sistem tersebut sangat sederhana loh (Gambar 1).

Gambar 1

Sistem RWH terdiri dari tandon air (250 L), beberapa pipa, dan atapun tuk menangkap air hujan. Saya coba hitung – hitung dengan Kang Riki kemaren, jika luas atap tampungan air sekitar 50 m2. Maka tandon air tersebut penuh dengan curah hujan 5 mm. Saya sempat mendengar gumaman Kang Riki, “hmmm… hujang sedang ya”. Wowww, sense Kang Riki tentang hujan bagus ya….

Oke ceritanya masih berlanjut, setelah tandon tadi penuh maka airnya akan dipindahkan melalui pompa air ke tandon kedua yang berada di tempat orang berwudhu. Air yang dipanen tersebut akan digunakan selain untuk kegiatan beribadah di musholah tersebut juga untuk keperluan lain, seperti menyiram tanaman di sekitar tempat tersebut.

Berikut pengalaman saya tentang RWH, o iya, yang membuat sistem tersebut adalah Kang Mimid dan keponakannya (Gambar 2) dibantu juga oleh warga sekitar. Kemaren saya juga sempat membantu Kang Mimid loh (Gambar 3), cuma bantu megangin pipanya saja, hehehe…
Terima kasih kepada Kang Riki, Kang Mimid, dan warga sekitar serta tim WCPL, semoga sistem RWH ini memberikan banyak manfaat….

Gambar 2

Gambar 3

Ditulis Oleh : Faiz R. Fajary