Menguak Dampak Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) di Indonesia: Perjalanan Ridha Fatony Iswahyudi dalam Menyelesaikan Tugas Akhir di Meteorologi ITB

Oleh : Lutfiah Nur Rohmah Salaamah
Selasa, 3 September 2024

Potret Ridha Fatony Iswahyudi yang sudah menyelesaikan tugas akhirnya

BANDUNG, meteo.itb.ac.id — Menghadapi tugas akhir adalah salah satu tantangan terbesar bagi mahasiswa tingkat akhir. Tidak hanya membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang topik penelitian, tetapi juga ketekunan dan manajemen waktu yang baik. Bagi Ridha Fatony Iswahyudi, mahasiswa Meteorologi ITB, perjalanan menyelesaikan tugas akhir tentang “Dampak Boreal Summer Intraseasonal Oscillation Kuat terhadap Pola Diurnal Curah Hujan di Indonesia” dengan dosen pembimbing Dr. Nurjanna Joko Trilaksono, S.Si., M.Si. menjadi pengalaman yang penuh pembelajaran dan tantangan.

Awal mula Ridha mengetahui terkait fenomena Boreal Summer Intraseasonal Oscillation atau yang biasa disingkat BSISO adalah sewaktu kerja praktik (KP) di BRIN. Dr. Emma Yulihastin, selaku pembimbing, memberikan topik kerja praktik yang membahas dampak dari fenomena BSISO kuat di Indonesia. “Setelah kerja praktik, saya menemukan bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat dampak dari BSISO terhadap kondisi meteorologi di Indonesia terutama di Indonesia bagian barat. Namun, masih sedikit peneliti yang meneliti terkait hal tersebut, sehingga saya terpacu untuk turut berkontribusi mengungkapkan fakta terkait dampak fenomena BSISO di Indonesia.” ujar Ridha. Tujuan penelitian dari tugas akhir yang Ridha kerjakan adalah untuk mengetahui dampak dari BSISO kuat terhadap pola diurnal curah hujan di Indonesia.

Pada tugas akhir yang Ridha kerjakan, ia membandingkan pola curah hujan harian saat terjadi BSISO dengan pola hujan pagi dan sore di Indonesia. Hasilnya, pada fase BSISO1 (fase 1-4) dan BSISO2 (fase 1-3), curah hujan harian meningkat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di pesisir barat Sumatra dan Kalimantan. Hal ini terkait dengan posisi BSISO di Samudra Hindia pada fase-fase tersebut. Namun, komponen hujan pagi dan sore menunjukkan pola spasial yang berbeda dengan klimatologi komponen diurnal MJJAS tahun 2011-2022. Peningkatan curah hujan pagi lebih banyak terjadi di daratan, terutama di pesisir barat Sumatra dan Kalimantan, sementara hujan sore lebih banyak terjadi di lautan. “Untuk penjelasan hasil yang lebih lengkap, bisa melihat tugas akhir saya yang dapat diakses di Digilib ITB,” tambah Ridha.

Penelitian Ridha menunjukkan anomali curah hujan harian, hujan pagi, dan hujan sore untuk BSISO1 fase 1-4 dan BSISO2 fase 1-3, dengan warna biru mewakili curah hujan lebih besar dari klimatologi dan merah lebih kecil dari klimatologi

Dari hasil penelitian tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa fenomena BSISO ini memberikan dampak variasi komponen diurnal curah hujan di Indonesia secara spasial. Komponen hujan pagi hari memiliki peningkatan curah hujan di daratan dan penurunan curah hujan di lautan. Sementara itu, hujan sore hari memiliki peningkatan curah hujan di pesisir dan lautan serta penurunan curah hujan di daratan Indonesia. Namun, mekanisme detail tentang bagaimana BSISO mengubah pola diurnal curah hujan perlu diteliti lebih lanjut.

Selama mengerjakan tugas akhir, Ridha berbagi pengalaman terkait kesulitan yang ia alami yaitu ketika menerapkan metode yang belum familiar yang Bernama bandpass filter. Selain itu, memahami fenomena BSISO itu sendiri juga cukup sulit bagi Ridha, karena harus tahu terlebih dahulu perbedaan BSISO dengan MJO Boreal Winter dan pengaruh fenomena meteorologi lain di luar rentang BSISO untuk mendapatkan hasil dari rentang frekuensi fenomena BSISO saja. Cara Ridha melewati kesulitan tersebut adalah dengan berdiskusi dengan pembimbing dan dosen lainnya. Dibalik itu, dukungan yang besar dan semangat dari orang tua membantu Ridha untuk terus berjuang menyelesaikan tugas akhir ini. Tak lupa juga dukungan secara mental dari teman-teman karena ia mengalami kesulitan saat mencari teman diskusi dalam memahami fenomena BSISO.

Dengan keberhasilan menyelesaikan tugas akhirnya, Ridha berharap penelitiannya dapat menjadi referensi bagi mahasiswa dan peneliti lain yang ingin mendalami dampak fenomena BSISO terhadap kondisi meteorologi di Indonesia. Ridha juga berpesan kepada mahasiswa lain yang sedang menjalani proses tugas akhir untuk tetap semangat dan mencari dukungan dari lingkungan sekitar, baik itu dari dosen pembimbing, teman, maupun keluarga. “Tantangan memang ada, tetapi dengan usaha dan dukungan yang tepat, semuanya bisa dilewati,” pungkasnya.

Pertemuan Awal dan Sosialisasi Kurikulum Baru Program Studi Meteorologi Tahun 2024

Oleh : Mely Anggrini (Meteorologi, 2022)
Selasa, 03 September 2024

Temu Awal Program Studi Meteorologi ITB dengan Mahasiswa/i Angkatan 2024 pada Selasa, 27/8/2024

BANDUNG, meteo.itb.ac.id – Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB) gelar temu awal prodi dengan seluruh mahasiswa aktif pada 27-28 Agustus 2024 bertempat di Ruang Seminar Prodi, Labtek XI, ITB Kampus Ganesha.

Kegiatan temu awal pada hari pertama dengan mahasiswa baru meteorologi angkatan 2023 yang dibawakan oleh Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Dr. Muhammad Rais Abdillah, S.Si., M.Sc., diawali dengan penyambutan serta penyampaian sarana dan prasarana yang disediakan oleh Program Studi meteorologi ITB. Bukan hanya itu, Dr. Rais turut mengenalkan dosen-dosen dengan berbagai bidang keilmuan yang berada di program studi ini.

Dr. Rais menjelaskan secara detail terkait perombakan Kurikulum 2019 menjadi Kurikulum 2024 yang mulai diterapkan pada semester ganjil tahun 2024. Pada perubahannya disampaikan bahwa terdapat 4 (empat) skema pembelajaran pilihan yang dapat diambil oleh mahasiswa meteorologi mulai dari tahun ajaran baru 2024.

Skema Pembelajaran Baru Kurikulum 2024

Skema tersebut diantaranya adalah skema umum, skema spesialisasi, skema integrasi antar program sejenjang, dan skema MBKM. Skema umum merupakan skema baku yang bisa ditempuh mahasiswa untuk menyelesaikan program sarjana, di mana mahasiswa menggunakan porsi mata kuliah pilihan bebas (MKPB) secara mandiri, namun tetap dalam aturan yang ditetapkan oleh program studi meteorologi dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Skema spesialisasi adalah skema khusus untuk menyelesaikan program sarjana, di mana mahasiswa diberikan kesempatan untuk melakukan pendalaman keilmuan di bidang tertentu dengan cara mengambil paket-paket spesialisasi yang disediakan oleh program studi sebagai bagian dari mata kuliah pilihan bebas. Paket spesialisasi dibentuk dalam delapan bagian, diantaranya adalah Sains Atmosfer, Energi Terbarukan, Kebencanaan Hidrometeorologi dan Lingkungan, Perubahan Iklim, Teknologi dan Instrumentasi Meteorologi, Operasional Meteorologi, Sains Data Meteorologi, serta Prediksi Cuaca dan Iklim.

Skema selanjutnya adalah skema integrasi antar program sejenjang yang terbagi menjadi dua program yaitu skema mayor-minor dan skema double major. Program mayor-minor adalah skema antar program khusus untuk program studi sarjana, di mana mahasiswa program studi pertama (mayor) menggunakan sebagian porsi kuliah bebasnya untuk mengambil paket minor yang ditawarkan oleh program studi lain. Program selanjutnya adalah skema double major yang merupakan skema yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa suatu program studi untuk memposisikan program studinya sebagai mayor pertama dan kemudian mengambil paket mayor kedua dari program studi lain.

Skema terakhir adalah Skema Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang merupakan skema khusus dan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memenuhi porsi kuliah bebasnya (MKPB) dengan mengambil berbagai bentuk kegiatan di luar program studi maupun luar kampus, yang dapat berupa kegiatan yang diinisiasi dari pihak eksternal seperti dari dunia usaha dan dunia industri, lembaga penelitian, lembaga pemerintah, universitas lain di dalam atau luar negeri, dan lainnya.

Selain skema terbaru dalam menjalani program sarjana, terdapat pembaharuan dalam menjalani Tugas Akhir (TA) bagi mahasiswa tingkat akhir program studi meteorologi ITB. Dalam pelaksanaannya tugas akhir dapat berupa riset, proyek, dan purwarupa, Dimana terdapat pembagian dua kelas yang dapat dijalani oleh mahasiswa, yaitu kelas pertama dengan mengikuti proses pembelajaran di kampus berupa studi literatur bahan kajian tugas akhir dan kelas kedua di mana peserta melaksanakan kerja praktik di suatu instansi maupun perusahaan.

Kurikulum baru Program Studi Meteorologi 2024 ini diharapkan bisa memberikan panduan yang lebih baik dalam menjalankan Program Studi Meteorologi demi menghasilkan lulusan yang terbaik di bidang Meteorologi, baik di Indonesia maupun di kancah global.

Jelajahi Pengalaman Baru, Mahasiswa Meteorologi ITB Jalani Study Exchange di National University of Singapore

Oleh : Mely Anggrini
Sabtu, 24 Agustus 2024

Rubens Phenola Setiawan menjalani kegiatan study exchange di National University of Singapore

BANDUNG, meteo.itb.ac.id – Mahasiswa Program Studi Meteorologi ITB angkatan 2021, Rubens Phenola Setiawan, menjalani kegiatan study exchange di National University of Singapore (NUS), Singapura. Kesempatan tersebut Rubens dapatkan melalui program beasiswa Discover NUS 2024, yang merupakan program langsung dari National University of Singapore untuk menjalani studi selama satu semester dan kemudian berkesempatan untuk menjalani ASEAN Master Scholarship sebagai program lanjutan dari universitas tersebut.

Rubens menjalani kegiatan perkuliahan di NUS pada Department of Geography, Faculty of Arts and Social Sciences, terhitung sejak Januari hingga Mei 2024. Ia mengakui bahwa kegiatan exchange ini sangat menyenangkan baginya.

Rubens melakukan pengukuran slope untuk menghasilkan model lereng pada Tugas Besar yang ia jalani

Pada mata kuliah geomorfologi, Rubens bercerita bahwa ia menjalani 3 (tiga) kali praktikum lapangan. Praktikum ia jalani bersama profesor yang mengajaknya berkeliling kampus untuk memetakan kondisi dan stabilis lereng di sekitar kampus. Selanjutnya terdapat survei individual yang mengharuskan Rubens untuk mencari empat hingga lima lereng di seluruh Singapura, kemudian melakukan pengukuran serta identifikasi terhadap sifat lereng yang ada. Pengamatan yang ia jalani dituangkan dalam bentuk laporan analisis, dengan data iklim yang relatif sama, serta porositas dan batuan induk yang berbeda.

Rubens turut menjelaskan bahwa setiap ia mengalami kesulitan akan materi yang ia pelajari, terdapat professor yang selalu siap sedia dihubungi melalui email dan menjawab pertanyaannya sesegera mungkin. “Pernah Beliau sedang ada konferensi di Austria, tetapi aku gak tau itu dan langsung email saja, karena kebetulan sedang ujian dan mau belajar. Tetapi Beliau tetap jawab. Benar-benar memiliki dedikasi yang tinggi dalam mata kuliah yang Beliau pegang,” ujar Rubens.

Bukan hanya itu, Rubens menceritakan bahwa salah satu alasan ia menjalani perkuliahan dengan menyenangkan di NUS, karena terdapat materi yang lengkap dan akses buku serta jurnal yang sangat banyak dan mudah. “Perpustakaannya enak dan dingin, terdapat satu hingga dua ruangan yang buka 24 jam, jadi mau ke sana jam berapapun gak masalah,” lanjut Rubens.

Ia berpesan kepada teman-teman maupun adik tingkatnya yang ingin mengikuti kegiatan study exchange, untuk mempertahankan nilai yang baik dan meningkatkan kemampuan bahasa asing. Kemampuan mempelajari dan memahami keilmuan masing-masing dalam bahasa asing, terlebih bahasa Inggris, diperlukan untuk mempermudah kegiatan perkuliahan dan pembelajaran.

Tidak hanya itu, Rubens menyarankan untuk mengambil universitas dan program studi yang cocok, linier, dan satu rumpun dengan program studi saat ini. Hal tersebut dapat menjadi langkah awal untuk meningkatkan ilmu dan pengetahuan yang mahasiswa miliki.

“Kalau bisa ranking universitas yang dipilih lebih bagus dari yang sekarang, agar ada improvement, jadi secara fasilitas dan mutu lebih bagus,” ungkap Rubens.

Webinar Obrolan Santai oleh Dr. Joko Wiratmo : Menebak Kelakuan La Nina 2024

Oleh : Mely Anggrini
Senin, 17 Juni 2024

BANDUNG, meteo.itb.ac.id – Dosen Program Studi Meteorologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) sekaligus pemerhati sistem iklim, Dr. Joko Wiratmo M.P., gelar Webinar Obrolan Santai “Prakiraan Kelakuan La Nina 2024” yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom Meeting, Senin (10/6/2024).

Webinar ini dihadiri oleh berbagai kalangan yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia, mulai dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, hingga berbagai provinsi lainnya.

Dr. Joko Wiratmo sebagai penyelenggara webinar ini, berharap agar informasi mengenai cuaca dan iklim yang ada di wilayah Indonesia dapat tersampaikan dengan lebih baik, dalam artian tidak terdapat kesimpangsiuran informasi dan berita hoax yang muncul di tengah masyarakat Indonesia.

Dalam sambutannya, Dr. Joko Wiratmo berharap bahwa kegiatan ini dapat menginspirasi dosen-dosen lainnya, agar dapat menyebarkan kemampuan yang dimiliki bagi masyarakat luas secara cuma-cuma, sehingga masyarakat mendapatkan pencerahan, peningkatan kemampuan, pemahaman, hingga keterampilan yang mumpuni.

Bukan hanya itu, Dr. Joko menghadirkan pemerhati masalah lingkungan dan atmosfer dari BRIN Indonesia, Prof. Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc, untuk turut membahas tuntas masalah fenomena iklim La Nina yang sedang beredar saat ini.

“Kegiatan ini mungkin tidak dapat dilakukan secara teratur, tergantung apakah ada fenomena di masyarakat yang harus diluruskan atau tidak. Meskipun kami tidak bisa menjelaskan secara spesifik untuk setiap daerah di Indonesia, tetapi kami bisa menjelaskan secara umum,” ujar Dr. Joko.

Diantara banyaknya masalah iklim yang sering terjadi, hal yang menjadi topik hangat bagi dunia saat ini adalah variabilitas iklim El Nino dan La Nina. Beberapa tahun belakangan, diperkenalkan El Nino Modoki, dimana Modoki berasal dari bahasa Jepang yang memiliki arti “serupa tetapi tidak sama”. Dalam memahami El Nino dan La Nina, perhatian harus tertuju pada kajian di Samudera Pasifik, khususnya di wilayah sekitar khatulistiwa.

Apakah La Nina pada tahun 2024 benar akan terjadi atau tidak?

Beberapa waktu yang lalu banyak media massa yang memberitakan bahwa akan terjadi fenomena La Nina meskipun barangkali tanpa melihat prediksi dari berbagai lembaga kelas dunia lainnya. Terlebih  Kepala BMKG (Prof. Dwikorita Karnawati) juga telah menyampaikan informasi terkait kemungkinan La Nina kepada khalayak ramai.  Pada perkembangan awal bulan Juni ini, BMKG menyampaikan kemungkinan kekeringan yang akan terjadi di wilayah Indonesia dan menyatakan bahwa kondisi samudra Pasifik saat ini adalah dalam keadaan netral.

Grafik prediksi kondisi iklim La Nina dan El Nino oleh Australia pada tahun 2024 berdasarkan parameter suhu permukaan laut (Bagian Biru = La Nina ; Bagian Putih = Netral ; Bagian Merah = EL Nino)

Pada intinya, ketika suhu permukaan laut berada pada rentang penyimpangan kurang dari -0.5 °C menunjukkan terjadinya fenomena La Nina dan pada rentang lebih dari 0.5 °C menunjukkan terjadinya fenomena El Nino. Akan tetapi, ramalan dari berbagai institusi di dunia, menyatakan bahwa suhu permukaan laut saat ini berada pada rentang  -0.5 °C sampai 0.5 °C yang memiliki arti kondisi netral.

Melalui prediksi yang telah dilakukan oleh Australia dan institusi lainnya, mulai Bulan Juni 2024 telah dilakukan prediksi secara rata-rata global dan didapatkan hasil bahwa iklim berada pada kondisi netral pada cakupan wilayah Samudera Pasifik.

Grafik prediksi kondisi iklim La Nina dan El Nino oleh tujuh lembaga riset dunia pada tahun 2024 berdasarkan parameter suhu permukaan laut (Bagian Biru = La Nina ; Bagian Putih = Netral ; Bagian Merah = EL Nino)

Tujuh lembaga riset dunia dari Australia, Kanada, Eropa, Perancis, Inggris, Amerika Serikat , dan Jepang yang turut melakukan penelitian tentang ENSO, memberikan hasil bahwa pada Bulan Juni hingga Juli 2024, suhu permukaan laut berada pada kondisi normal. Tetapi pada Bulan Agustus hingga Oktober 2024, satu hingga dua lembaga menunjukkan hasil riset kondisi iklim yang cenderung sedikit mengarah pada terjadinya fenomena iklim La Nina. Hal ini tidak dapat dijadikan pertimbangan pasti bahwa La Nina akan terjadi, karena rataan dari lembaga lainnya tetap menunjukkan kondisi iklim normal.

Bagaimana pandangan badan riset (resmi) dunia terhadap evolusi La Nina, baik masa lalu, masa kini, maupun masa mendatang (tahun 2026)?

Secara umum, tahun-tahun ganjil merupakan era bagi El Nino, sedangkan tahun-tahun genap merupakan era bagi La Nina. Memang tahun genap merupakan era baru bagi La Nina, akan tetapi untuk setiap tahunnya, karakteristik dari La Nina tidaklah sama.

Data Time Series Historis Nino 3.4 Sea Surface Temperature Anomaly (Garis merah = Fase positif ; Garis biru = Fase negatif)

Berdasarkan data time series, garis merah yang melebihi ambang batas penyimpangan suhu permukaan laut pada 0.5 °C, menunjukkan terjadinya fenomena El Nino, sedangkan garis biru yang lebih rendah dari penyimpangan suhu permukaan laut pada -0.5 °C menunjukkan terjadinya fenomena La Nina. Dapat diamati pada penghujung grafik time series, dimana Januari 2024 akan menghampiri fase tendensi iklim normal sepanjang tahunnya.

“Memandang kondisi cuaca dan musim di  Indonesia, jangan hanya terfokus pada La Nina saja. Harus ingat bahwa Indian Ocean Dipole (IOD) dapat meredam itu. Seberapapun besarnya  kekuatan La Nina, kalau oleh IOD diredam, maka tidak akan memberikan impact yang besar,” tutur Prof. Eddy.

Dr. Joko menambahkan bahwa berdasarkan prediksi yang disampaikan dari model dunia internasional, peluang untuk terjadinya La Nina tetap ada pada bulan-bulan tertentu tergantung wilayah dan sumber lembaga riset yang ada.

“Terkait beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta hingga Banten, kalaupun ada kondisi kering di bulan Juni, Juli, Agustus (JJA), kondisi kering tidak akan parah dan peluang terjadinya hujan tidak akan berkurang atau bertambah signifikan. Untuk mengetahui lebih detail saudara bisa melihat dari prediksi yang dilakukan oleh BMKG karena mereka menggunakan data observasi yang lebih rinci dan merekalah yang mempunyai hak resmi untuk menyatakan kondisi wilayah Indonesia. Apa yang kami sampaikan merupakan gambaran umum serta analisis cuaca dan musim yang kemungkinan akan terjadi dari perspektif regional global,” ujar Dr. Joko.